Jumat, 7 Maret 2025
Hybrid, PARARA Indonesian Ehical Store dan Zoom Meeting
Diskusi dimulai dengan sambutan pembuka dan penjelasan tujuan diskusi, yaitu membahas kriminalisasi yang dialami perempuan pejuang lingkungan dan HAM serta urgensi perlindungan hukum bagi mereka. Diskusi menyoroti fenomena SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), yaitu upaya membungkam masyarakat yang bersuara kritis, terutama dalam memperjuangkan hak lingkungan dan hak hidup. Banyak masyarakat yang menyuarakan ketidakadilan justru dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal hukum yang dicari-cari agar mereka terjerat. Sektor paling terdampak adalah perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, sebagaimana data WALHI selama 10 tahun terakhir. Negara sendiri kerap kali berperan sebagai fasilitator atau bahkan pelaku SLAPP. Meski Indonesia memiliki Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Permen LHK No. 1 Tahun 2024, perlindungan hukum masih terbatas dan kurang memberikan efek jera. Tantangan lain yang dihadapi adalah belum adanya undang-undang partisipasi publik yang melindungi hak masyarakat secara luas.
Diskusi juga membahas kasus di Buol, Sulawesi Tengah. Sejak tahun 1995, masyarakat yang mayoritas adalah nelayan dan petani menghadapi perampasan lahan oleh PT Handaya Inti Plantation. Lahan pertanian seperti sawah, kebun kopi, dan kebun cokelat dirusak demi ekspansi sawit. Perusahaan menguasai lahan dengan izin HGU yang melebihi batas, sementara masyarakat yang memperjuangkan hak mereka menghadapi intimidasi dan kriminalisasi. Perempuan, yang banyak menjadi tulang punggung keluarga, harus bekerja sebagai buruh tani dengan upah rendah dan beban kerja ganda. Selain itu, masyarakat dibebankan utang sebesar Rp 1 triliun tanpa transparansi dari pihak perusahaan, memperparah ketidakadilan yang mereka alami.
Kasus lain diangkat dari Seluma, Bengkulu, di mana perempuan turut berjuang melawan tambang pasir besi sejak tahun 2010. Mereka menghadapi ancaman, intimidasi, dan pelecehan verbal saat mempertahankan sumber penghidupan berupa remis, sejenis kerang yang menjadi makanan pokok di saat paceklik dan menjadi simbol perjuangan mereka dalam mempertahankan laut mereka (termasuk pasir). Perusahaan tambang sempat berhenti beroperasi pada 2023, namun tekanan dari pihak aparat dan perangkat desa terus berlanjut agar warga menghentikan perlawanan. Meski demikian, para perempuan di Seluma membentuk komunitas demi menjaga kelestarian remis dan lingkungan desa mereka dan melanjutkan perjuangannya. Tambang pasir besi ini dianggap sebagai ancaman besar bagi ekosistem pesisir dan laut yang menjadi sumber kehidupan warga. Selain kerusakan lingkungan, penambangan juga mengancam hilangnya remis yang menjadi sumber ekonomi utama perempuan di sana. Perempuan Seluma memilih berada di garis depan karena pengalaman masa lalu di mana laki-laki yang berjuang lebih dulu mendapatkan represi keras, termasuk penangkapan dan intimidasi. Mereka terus bertahan meski mendapat ancaman hukum dan sosial dari berbagai pihak.
Tantangan besar yang dihadapi adalah paradoks kebijakan, di mana petani dihargai secara retorika, tetapi lahan mereka justru dialihfungsikan. Aparat penegak hukum juga kurang memahami SLAPP, meski sudah ada edaran dari Mahkamah Agung. Ketidakkonsistenan dalam memperjuangkan hak menjadi celah bagi pihak yang ingin membungkam gerakan rakyat. Konsistensi menjadi kunci, karena kompromi hanya akan memperpanjang rantai kekerasan dan ketidakadilan bagi generasi berikutnya.
12 Februari 2025
PARARA Indonesian Ethical Store, Kemang, Jakarta Selatan
26 orang Offline ; 5 Orang Online
Trend Asia adalah organisasi kampanye untuk transformasi energi dan pembangunan berkelanjutan di Asia. Salah satu fokus kerja Trend Asia adalah energi terbarukan. Indonesia memiliki cadangan batu bara yang cukup besar (peringkat ke-4 di Asia). Hal ini menjadi isu penting untuk dikampanyekan agar pemanfaatannya dihentikan, mengingat dampaknya terhadap krisis iklim dan perubahan iklim.
Sektor energi, khususnya yang berbasis batu bara dan turunannya, merupakan penyumbang emisi terbesar dalam krisis iklim. Indonesia sendiri menempati peringkat ke-6 dunia pada tahun 2022 sebagai penyumbang emisi karbon dari sektor energi. Selain itu, dalam kurun waktu 2013–2022, Indonesia menempati peringkat ke-2 dunia dalam penyumbangan emisi karbon akibat alih fungsi lahan.
Sebagian besar tambang batu bara di Indonesia menggunakan teknik open-pit mining, yang menyebabkan perambahan hutan dan alih fungsi lahan secara masif. Batu bara yang ditambang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), di mana batu bara dibakar untuk menghasilkan uap panas yang menggerakkan turbin dan kemudian dikonversi menjadi tenaga listrik. PLTU banyak terdapat di Pulau Jawa, sementara cadangan batu bara terbesar berada di Kalimantan dan Sumatera.
Saat ini, terjadi kelebihan pasokan listrik di Jawa, mencapai 40%, akibat banyaknya PLTU. Baik digunakan maupun tidak, kelebihan energi ini tetap harus dibayar, karena sebagian besar tenaga listrik dihasilkan oleh pihak swasta yang telah menjalin kerja sama dengan PLN. Beban pembayaran ini ditanggung oleh negara melalui APBN serta oleh masyarakat. Kondisi ini terjadi di sistem kelistrikan Jawa-Bali, yang saling terhubung, sedangkan di pulau-pulau lainnya, jaringan listrik masih belum terintegrasi satu sama lain.
Perubahan iklim kini menjadi masalah global. Indonesia telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon hingga 29% dengan usaha sendiri atau hingga 41% dengan bantuan internasional. Salah satu skema yang diusulkan adalah kemitraan transisi energi yang berkeadilan, yang bertujuan untuk memensiunkan PLTU yang sudah tua dan tidak lagi efisien. Penggantinya bisa berupa PLTU yang lebih baru atau dengan transisi ke energi terbarukan.
Energi terbarukan di Indonesia memiliki potensi besar, seperti tenaga air, tenaga surya, tenaga angin, dan panas bumi. Beberapa masyarakat yang tidak memiliki akses listrik dari pemerintah bahkan telah menerapkan penggunaan energi terbarukan secara mandiri.
Di beberapa lokasi, energi terbarukan sudah diterapkan dalam skala kecil, seperti di tingkat desa, sekolah, dan kecamatan. Pemanfaatan bendungan air, panel surya, serta tenaga angin telah berjalan dan menjadi solusi bagi daerah yang belum terjangkau oleh jaringan listrik nasional. Menariknya, sebagian besar lokasi yang menggunakan energi terbarukan justru merupakan wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar, di mana akses listrik dari PLN dan negara masih sangat terbatas.
Panas bumi juga merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang potensial. Namun, eksplorasi dan pemanfaatannya sering kali menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, terutama karena cadangan panas bumi kerap berada di kawasan permukiman, hutan, atau wilayah lain yang memiliki nilai ekologis dan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, pengembangan energi panas bumi masih menghadapi tantangan besar dalam memastikan penerapannya yang benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan.
Pada Selasa, 11 Februari 2025, PARARA Indonesian Ethical Store mengadakan workshop membatik bersama Mba Endang dari Omah Batik Sekar Turi, Yogyakarta. Workshop ini memberikan kesempatan bagi peserta untuk mengenal lebih dalam tentang batik, baik dari segi sejarah maupun teknik pembuatannya. Mba Endang memulai karier membatik pada tahun 2009 dengan mengusung tema pencampuran motif batik tradisional dan batik kontemporer menjadi satu motif baru.
Kegiatan dimulai dengan pemaparan mengenai batik dan berbagai motif tradisional yang berkembang di Indonesia. Selain itu, peserta juga diperkenalkan dengan konsep batik kontemporer atau intuitive batik, yang menawarkan kebebasan berekspresi melalui pola dan warna. Setelah sesi penjelasan, peserta langsung mempraktikkan teknik membatik pada sepotong kain, mengombinasikan motif tradisional dengan pendekatan kontemporer.
Dalam proses membatik, digunakan malam sebagai perintang warna, sementara pewarnaan dilakukan dengan pewarna alami berbasis indigo untuk mendapatkan warna biru. Pencelupan ke dalam indigo dilakukan dua kali untuk mendapatkan warna biru yang cukup kuat. Untuk mengunci warna, kain kemudian direndam dengan cuka dapur sebelum tahap akhir, yaitu peluruhan malam melalui proses perebusan dalam air panas.
Workshop ini tidak hanya menjadi ajang belajar teknik membatik, tetapi juga memperkuat apresiasi terhadap batik sebagai warisan budaya yang terus berkembang seiring waktu.
23 Januari 2025
PARARA Indonesian Ethical Store
14 orang hadir Offline
Slogan "sehat" sering membuat makanan terdengar kurang menarik, terutama bagi anak muda. Daripada hanya menekankan aspek kesehatan, strategi pemasaran dapat lebih menonjolkan faktor lain yang lebih menarik, seperti cita rasa, pengalaman makan, atau cerita di balik produk.
Target pasar juga harus ditentukan dengan jelas. Jika sasarannya adalah anak muda, maka pendekatannya perlu lebih simpel, modern, dan sesuai dengan preferensi mereka. Gen Z cenderung menyukai sesuatu yang praktis, memiliki desain visual yang menarik, serta memiliki cerita yang membuat mereka merasa terhubung dengan produk tersebut.
Salah satu cara untuk meningkatkan daya tarik adalah dengan menerapkan storytelling pada menu. Selain mencantumkan nama makanan atau minuman, informasi tambahan seperti asal-usul bahan baku, petani yang memproduksi, atau daerah asal makanan tersebut dapat disertakan. Hal ini tidak hanya meningkatkan nilai produk tetapi juga memberikan pengalaman yang lebih bermakna bagi konsumen. Sebagai contoh, makanan berbahan dasar lokal yang kurang umum, seperti mie sagu atau brownies sorgum, mungkin awalnya tidak memiliki daya tarik yang kuat. Namun, ketika konsumen mengetahui cerita di baliknya, mereka cenderung lebih menghargai dan menikmati produk tersebut.
Aspek harga juga menjadi pertimbangan penting, mengingat banyak yang menganggap makanan sehat cenderung mahal. Oleh karena itu, diperlukan strategi harga yang lebih inklusif, seperti paket bundling atau promosi yang membuat produk lebih terjangkau. Selain itu, citra makanan sehat yang sering dikaitkan dengan atlet atau pecinta olahraga perlu diperluas agar dapat menarik lebih banyak segmen pasar.
Pendekatan inovatif dalam menyesuaikan produk dengan preferensi anak muda juga menjadi kunci. Sebagai contoh, terdapat produsen kembang goyang yang bekerja sama dengan mahasiswa Binus dalam mengembangkan produk agar lebih sesuai dengan selera generasi muda. Hasil riset menunjukkan bahwa ukuran kecil lebih disukai karena lebih praktis dan tidak meninggalkan remah saat dikonsumsi. Inovasi ini memungkinkan produk tersebut berhasil menembus pasar ritel modern seperti Indomaret dan Alfamart di Tangerang.
Strategi pemasaran harus lebih relevan dengan kebiasaan dan preferensi anak muda saat ini. Pendekatan storytelling pada menu dinilai efektif dalam meningkatkan daya tarik dan nilai produk. Selain itu, diperlukan strategi komunikasi yang lebih menarik agar makanan sehat tidak hanya dikaitkan dengan gaya hidup mahal atau olahraga.
Pihak Binus menyatakan kesediaannya untuk berkolaborasi dalam penyelenggaraan workshop terkait pangan lokal atau kerajinan berbasis komunitas. Workshop ini diharapkan dapat menjadi wadah edukasi sekaligus memperluas pemahaman mengenai keberlanjutan pangan lokal di kalangan mahasiswa dan masyarakat umum. Selain itu, Parara juga dipertimbangkan sebagai platform potensial untuk memperkenalkan makanan lokal dengan konsep yang lebih modern dan sesuai dengan tren pasar saat ini.
Tanggal: 18 Oktober 2024.
Lokasi: Jakarta, PARARA Indonesian Ethical Store.
Acara Hari Pangan Sedunia ini mengumpulkan berbagai kelompok pemangku kepentingan untuk membahas masalah pangan yang mendesak di Indonesia dan mengeksplorasi jalur menuju kebijakan pangan yang berkelanjutan. Dengan fokus pada keterlibatan pemuda, diskusi bertujuan untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh sistem pangan dan mempromosikan solusi inovatif.
Pertemuan ini mengidentifikasi beberapa tantangan kritis yang memengaruhi lanskap pangan Indonesia:
Acara ini menampilkan berbagai kegiatan yang dirancang untuk mendorong dialog dan kolaborasi di antara peserta:
Para peserta terlibat dalam diskusi yang hidup mengenai topik-topik seperti:
Acara Hari Pangan Sedunia ini menekankan pentingnya reformasi kebijakan yang komprehensif, keterlibatan aktif masyarakat, dan pendekatan inovatif untuk membangun sistem pangan yang tangguh dan inklusif di Indonesia. Keterlibatan aktif pemuda dianggap sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di sektor pangan.
Pada 19 Oktober 2024, pemuda dari berbagai daerah dibagi ke dalam beberapa kelompok untuk berdiskusi mengenai naskah "Transformasi Sistem Pangan Negara Kepulauan: Suara Masyarakat Sipil untuk Perubahan Kebijakan Menuju Sistem Pangan yang Beragam, Adil, dan Lestari". Setiap kelompok menyajikan solusi dari 8 agenda yang terdapat dalam naskah tersebut. Hasil diskusi ini kemudian menghasilkan deklarasi Orang Muda Peduli Pangan Lokal dan terbentuklah komunitas baru anak muda yang bernama Orang Muda Peduli Pangan Lokal (OMPPL).
Dalam rangka memperingati Hari Pangan Internasional di tanggal 16 Oktober, PARARA dengan berbagai mitra dan orang muda representatif dari setiap pulau di Indonesia mengadakan pertemuan.
Diskusi dilakukan oleh orang muda membahas naskah “Transformasi Sistem Pangan Negara Kepulauan : Suara Masyarakat Sipil untuk Perubahan Kebijakan Menuju Sistem Pangan yang Beragam, Adil dan Lestari” yang memiliki 8 agenda perubahan.
Orang muda yang hadir dibagi menjadi 4 kelompok untuk membahas 8 agenda perubahan.
Agenda 1 : Penataan Agraria dan Tata Ruang Produksi Pangan
Permasalahan dan Rekomendasi bagi Pemangku Kebijakan:
Alih fungsi lahan untuk proyek besar dan berkurangnya lahan bagi petani.
Rekomendasi: Redistribusi lahan dan reforma agraria.
Perampasan wilayah adat.
Rekomendasi: Regulasi yang jelas untuk memastikan kepastian hak masyarakat adat atas tanah adat.
Kurangnya pendampingan untuk masyarakat.
Rekomendasi: Penyediaan pendamping lapangan yang lebih banyak dan pemerataan edukasi dari daerah urban ke rural.
Kebijakan yang tidak tegas dan rentan intervensi pihak berkuasa:
Rekomendasi: Penyusunan kebijakan yang tegas, tidak tumpang tindih, dan transparan dalam pengelolaan lahan.
Agenda 2 : Pengembangan Pangan Lokal, Sistem Pangan Berbasis Masyarakat dan Kearifan Lokal
Permasalahan dan Rekomendasi bagi Pemangku Kebijakan:
Kesenjangan harga pangan.
Rekomendasi: Advokasi dan sosialisasi kepada masyarakat serta orang muda terkait isu pangan, serta mendorong pasar lokal yang memudahkan petani memasarkan hasil pertanian.
Database pangan lokal.
Rekomendasi: Mengadakan ruang sharing dan "Gerakan Pulang Kampung" untuk memperkuat database pangan lokal dan melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pangan.
Ketergantungan pangan kepada pemerintah.
Rekomendasi: Menghentikan pendekatan program skala besar dan mendorong pemerintah untuk mengadakan pasar lokal yang mendukung petani, serta mengesahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.
Agenda 3 : Pengembangan Sistem Pangan Pesisir, Pulau Kecil, dan Pangan dari Laut
Permasalahan dan Rekomendasi bagi Pemangku Kebijakan:
Perusakan laut dan pemberian izin semena-mena.
Rekomendasi: Mencabut izin yang diberikan secara sembarangan dan mendorong wilayah kelola berbasis kearifan lokal untuk melindungi laut.
Kurangnya perlindungan pemerintah terhadap nelayan kecil.
Rekomendasi: Melindungi nelayan kecil dengan memastikan wilayah kelola berbasis kearifan lokal, mencegah privatisasi pesisir, serta mempermudah proses perizinan tanpa membebani nelayan.
Kebijakan pemerintah yang lemah terhadap nelayan kecil.
Rekomendasi: Mengesahkan Undang-Undang tentang Masyarakat Adat untuk memberikan perlindungan hukum bagi nelayan dan masyarakat adat.
Agenda 4 : Mendorong Konsumsi Berkelanjutan dan Pengelolaan Limbah Pangan
Permasalahan dan Rekomendasi bagi Pemangku Kebijakan:
Food waste akibat perilaku konsumtif dan minimnya pengelolaan limbah pangan.
Rekomendasi: Menyediakan anggaran untuk perbaikan TPA, membuat regulasi tentang limbah minimal dari usaha pangan, serta melaksanakan pelatihan pengolahan limbah pangan.
Minimnya edukasi dan literasi tentang pangan berkelanjutan.
Rekomendasi: Meningkatkan kampanye melalui media sosial dan kolaborasi komunitas untuk memperkenalkan praktik pangan berkelanjutan.
Rendahnya harga hasil pertanian yang menyebabkan food waste di tingkat petani.
Rekomendasi: Mendorong penerapan model pertanian yang didukung komunitas (Community Supported Agriculture) untuk meningkatkan pendapatan petani dan mengurangi pemborosan hasil pertanian.
Agenda 5 : Dukungan untuk Pertanian Ekologis dan Resiliensi Sistem Pangan
Permasalahan dan Rekomendasi bagi Pemangku Kebijakan:
Penggunaan pupuk kimia yang merusak mikroorganisme dan ketergantungan pada bantuan pemerintah berupa pupuk kimia.
Rekomendasi: Memberikan pengetahuan dan pendampingan kepada petani tentang pemanfaatan pupuk organik, serta menggantikan bantuan pupuk kimia dengan pupuk organik dari pemerintah.
Petani kurang memanfaatkan kemajuan teknologi pertanian di era industri 4.0.
Rekomendasi: Sosialisasi dan pelatihan kepada petani untuk memanfaatkan teknologi pertanian yang berkelanjutan, serta membentuk rumah belajar untuk mengajarkan pengelolaan pertanian organik.
Harga jual hasil pertanian yang rendah.
Rekomendasi: Membangun pasar komunitas untuk petani, mengorganisir petani muda di setiap daerah, dan menghentikan monopoli pasar yang merugikan petani.
Agenda 6 : Regenerasi Petani Muda
Permasalahan dan Rekomendasi bagi Pemangku Kebijakan:
Stigma negatif terhadap petani dan pandangan buruk terhadap bertani.
Rekomendasi: Melakukan program peduli pangan sejak sekolah dasar untuk mengubah persepsi negatif dan menumbuhkan minat terhadap pertanian, serta mendorong pemerintah untuk menghadirkan role model petani sukses.
Petani muda terhambat modal usaha dan akses lahan pertanian.
Rekomendasi: Memberikan dukungan permodalan, alat, benih unggul, serta memfasilitasi penggunaan lahan kolektif dan koperasi untuk membantu petani muda mengatasi keterbatasan modal dan lahan.
Petani muda tidak dilibatkan dalam merumuskan kebijakan ketahanan pangan.
Rekomendasi: Mendorong pemerintah untuk melibatkan petani muda dalam perumusan kebijakan ketahanan pangan dan mendukung partisipasi aktif mereka dalam pengambilan keputusan.
Agenda 7 : Regionalisasi dan Desentralisasi Tata Kelola Sistem Pangan
Permasalahan dan Rekomendasi bagi Pemangku Kebijakan:
Sentralisasi pangan dan lemahnya diversifikasi pangan.
Rekomendasi: Menyelenggarakan pesta kuliner dan lokakarya tentang pangan lokal untuk meningkatkan keberagaman pangan.
Paradigma pemerintah yang menyerahtugaskan dan kurangnya inklusi petani serta orang muda.
Rekomendasi: Melibatkan petani dan generasi muda secara inklusif dalam program pangan lokal dan pengabdian masyarakat.
Kebijakan daerah yang lemah akibat kebijakan pusat yang dominan.
Rekomendasi: Alokasikan distribusi sembako dengan komoditas pangan lokal untuk memperkuat kebijakan daerah.
Dampak sentralisasi pangan pada produksi.
Rekomendasi: Mendorong sosialisasi dan pengembangan pangan lokal melalui program pengabdian masyarakat dan inisiatif desa.
Agenda 8 : Riset dan Inovasi untuk Transformasi Sistem Pangan
Permasalahan dan Rekomendasi bagi Pemangku Kebijakan:
Tidak sinkronnya database pertanian dan perikanan antara pusat dan daerah serta kurangnya pembaruan data.
Rekomendasi: Membangun kolaborasi data yang dapat diakses secara mudah terkait pangan darat dan laut.
Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap informasi dan akses data.
Rekomendasi: Menyebarluaskan informasi pangan lokal melalui situs terintegrasi, seperti aplikasi ING untuk menghitung nilai gizi.
Kurangnya pengetahuan tentang keberagaman dan gizi pangan yang tersedia.
Rekomendasi: Meningkatkan edukasi masyarakat tentang keberagaman dan gizi pangan melalui informasi yang lebih mudah diakses.
Alat dan mesin pertanian serta sarana produksi yang tidak tepat guna dan sasaran.
Rekomendasi: Mengadakan dialog dengan pemerintah lokal untuk memastikan ketersediaan sarana produksi pertanian dan perikanan yang tepat guna dan sasaran.
Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki sistem pangan yang erat dengan sumber pangan, pengetahuan, dan budaya yang beragam. Sektor pangan menghadapi tantangan berat untuk memenuhi kebutuhan dengan meningkatnya populasi, perubahan iklim, degradasi lahan dan kerusakan ekosistem serta keanekaragaman hayati. Kebutuhan akan pangan mendorong pembukaan lahan secara besar-besaran sehingga mengambil alih wilayah hutan dan mengancam kehidupan flora dan fauna. Alasan yang sama juga digunakan oleh pemerintah untuk merenggut hak atas lahan masyarakat adat untuk pertanian yang hanya berfokus pada kepentingan ekonomi. Tidak adanya pelibatan masyarakat terutama kelompok rentan menunjukkan hak partisipasi masyarakat yang direnggut secara paksa. Praktik pertanian monokultur skala besar yang menggunakan input kimia sintetis mengancam produktivitas tanah dan memicu kerusakan lingkungan, terutama air dan tanah. Lebih lanjut, praktik ini menyebabkan kerentanan seperti gagal panen yang berujung pada krisis pangan.
Ketidak adilan dan kesetaraan
• Pembangunan sektor pertanian dan pangan dilakukan dengan paradigma dan pendekatan yang sentralistik. Model pembangunan dilakukan terpusat dan diseragamkan padahal konteks dan sumber daya yang berbeda-beda. Akibatnya, proses produksi menjadi seragam dan keragaman sumber daya genetik pangan hilang
• Petani dan nelayan menjadi kelompok yang paling rentan dan miskin. Pada satu sisi mereka didorong untuk terus berproduksi, pada sisi lain kehidupannya tidak diperhatikan (pendapatan rendah, dirampas lahannya, dan lain sebagainya). Tidak mengherankan jika kehidupannya menyedihkan yang menyebabkan minat orang muda menurun jauh untuk menjadi petani maupun nelayan
•Perampasan lahan (tanah dan laut) masih terus terjadi dan meminggirkan petani, nelayan, masyarakat adat. Padahal itu merupakan ruang hidup, kehidupan dan ritus budaya masyarakat. Perampasan lahan menunjukkan persoalan ketidakadilan terhadap aset dan akses terhadap lahan yang nyata masih terjadi hari ini
• Kurangnya akses informasi dan pengetahuan terkait pangan dan pertanian, baik karena biaya yang tinggi maupun jarak yang jauh, menghasilkan disparitas terutama bagi masyarakat pedesaan dan masyarakat miskin kota
• Diskriminasi gender dalam akses pengetahuan, ekonomi, termasuk pengupahan di sektor pangan, di mana petani dan nelayan perempuan menanggung beban kerja yang sama dengan laki-laki, tetapi mendapatkan upah yang lebih rendah. Petani dan nelayan perempuan sering diabaikan karena dianggap tidak memiliki kapasitas pengetahuan yang cukup dalam sektor pertanian dan perikanan
Kurangnya Partisipasi Masyarakat
• Partisipasi orang muda dalam proses pengambilan keputusan masih terbatas. Hal ini menyebabkan kebijakan pertanian dan pangan kurang transparan dan tidak inklusif. Orang muda dan kelompok rentan lainnya tidak mendapatkan ruang partisipasi yang memadai
• perempuan dan kelompok rentan lainnya hanya dijadikan pemenuhan kuota partisipan tanpa betul-betul didengar suaranya.
Ancaman Terhadap Kemandirian Pangan
• Degradasi keberagaman pangan lokal. Penyeragaman produksi dan konsumsi pangan menyebabkan tidak hanya berkurang namun juga hilangnya berbagai jenis pangan lokal. hilangnya keragaman pangan akan meningkatkan ketergantungan terutama pangan impor. Keberagaman yang makin melemah justru meningkatkan kerentanan.
• Penyeragaman model produksi pada akhirnya mendorong terjadinya penyeragaman konsumsi pangan. Penyeragaman ini tidak hanya dilakukan dengan kebijakan produksi, namun juga dengan kebijakan pangan yang liberal. Tidak hanya sumber daya pangan lokal yang hilang, ketergantungan konsumsi pada pasar menyebabkan hilangnya akses pangan dan tidak terpenuhinya hak atas pangan terutama kelompok marginal.
• Peningkatan produksi dilakukan pemerintah tidak hanya dibuat seragam, namun juga diarahkan dalam skala luas (estate) dan tidak ramah lingkungan. Model pertanian ini tidak hanya mengancam kelestarian lingkungan namun juga kerap melanggar hak asasi manusia.