Jumat, 7 Maret 2025
Hybrid, PARARA Indonesian Ehical Store dan Zoom Meeting
Diskusi dimulai dengan sambutan pembuka dan penjelasan tujuan diskusi, yaitu membahas kriminalisasi yang dialami perempuan pejuang lingkungan dan HAM serta urgensi perlindungan hukum bagi mereka. Diskusi menyoroti fenomena SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation), yaitu upaya membungkam masyarakat yang bersuara kritis, terutama dalam memperjuangkan hak lingkungan dan hak hidup. Banyak masyarakat yang menyuarakan ketidakadilan justru dikriminalisasi menggunakan pasal-pasal hukum yang dicari-cari agar mereka terjerat. Sektor paling terdampak adalah perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, sebagaimana data WALHI selama 10 tahun terakhir. Negara sendiri kerap kali berperan sebagai fasilitator atau bahkan pelaku SLAPP. Meski Indonesia memiliki Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Permen LHK No. 1 Tahun 2024, perlindungan hukum masih terbatas dan kurang memberikan efek jera. Tantangan lain yang dihadapi adalah belum adanya undang-undang partisipasi publik yang melindungi hak masyarakat secara luas.
Diskusi juga membahas kasus di Buol, Sulawesi Tengah. Sejak tahun 1995, masyarakat yang mayoritas adalah nelayan dan petani menghadapi perampasan lahan oleh PT Handaya Inti Plantation. Lahan pertanian seperti sawah, kebun kopi, dan kebun cokelat dirusak demi ekspansi sawit. Perusahaan menguasai lahan dengan izin HGU yang melebihi batas, sementara masyarakat yang memperjuangkan hak mereka menghadapi intimidasi dan kriminalisasi. Perempuan, yang banyak menjadi tulang punggung keluarga, harus bekerja sebagai buruh tani dengan upah rendah dan beban kerja ganda. Selain itu, masyarakat dibebankan utang sebesar Rp 1 triliun tanpa transparansi dari pihak perusahaan, memperparah ketidakadilan yang mereka alami.
Kasus lain diangkat dari Seluma, Bengkulu, di mana perempuan turut berjuang melawan tambang pasir besi sejak tahun 2010. Mereka menghadapi ancaman, intimidasi, dan pelecehan verbal saat mempertahankan sumber penghidupan berupa remis, sejenis kerang yang menjadi makanan pokok di saat paceklik dan menjadi simbol perjuangan mereka dalam mempertahankan laut mereka (termasuk pasir). Perusahaan tambang sempat berhenti beroperasi pada 2023, namun tekanan dari pihak aparat dan perangkat desa terus berlanjut agar warga menghentikan perlawanan. Meski demikian, para perempuan di Seluma membentuk komunitas demi menjaga kelestarian remis dan lingkungan desa mereka dan melanjutkan perjuangannya. Tambang pasir besi ini dianggap sebagai ancaman besar bagi ekosistem pesisir dan laut yang menjadi sumber kehidupan warga. Selain kerusakan lingkungan, penambangan juga mengancam hilangnya remis yang menjadi sumber ekonomi utama perempuan di sana. Perempuan Seluma memilih berada di garis depan karena pengalaman masa lalu di mana laki-laki yang berjuang lebih dulu mendapatkan represi keras, termasuk penangkapan dan intimidasi. Mereka terus bertahan meski mendapat ancaman hukum dan sosial dari berbagai pihak.
Tantangan besar yang dihadapi adalah paradoks kebijakan, di mana petani dihargai secara retorika, tetapi lahan mereka justru dialihfungsikan. Aparat penegak hukum juga kurang memahami SLAPP, meski sudah ada edaran dari Mahkamah Agung. Ketidakkonsistenan dalam memperjuangkan hak menjadi celah bagi pihak yang ingin membungkam gerakan rakyat. Konsistensi menjadi kunci, karena kompromi hanya akan memperpanjang rantai kekerasan dan ketidakadilan bagi generasi berikutnya.